Di pedalaman Kalimantan, jauh dari hiruk-pikuk kota besar, terdapat sebuah sistem pengelolaan hutan yang sudah diterapkan turun-temurun oleh masyarakat Dayak. Mereka menyebutnya Tembawang, sebuah konsep pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang memadukan aspek ekologi, budaya, dan ekonomi. Dalam Tembawang, hutan bukan hanya sebagai sumber kayu, melainkan juga tanaman obat dan bahan pangan yang menopang kehidupan mereka sehari-hari.
Tembawang bukan sekadar hutan biasa. Ia adalah warisan budaya yang diikat oleh nilai-nilai spiritual dan tradisi, di mana alam dan manusia hidup berdampingan secara harmonis. Tanah dan pohon-pohon di dalamnya tidak boleh dieksploitasi secara sembarangan. Setiap pohon yang ditebang harus dihitung dengan cermat agar tidak merusak ekosistem.
Contoh Kasus kearifan lokal Tembawang di Desa Sepakat
Mari kita lihat sebuah contoh nyata di Desa Sepakat, sebuah desa kecil di Kabupaten Kapuas Hulu. Desa ini masih setia menjaga tradisi Tembawang. Penduduk di sini memanfaatkan hasil hutan berupa kayu untuk bahan bangunan, tanaman obat seperti akar pasak bumi dan kunyit putih, serta sumber pangan seperti buah durian dan umbut rotan. Semua ini diambil secara bijak dengan sistem yang telah diatur oleh tetua adat.
Namun, seiring dengan waktu, tantangan datang. Tekanan dari pasar kayu komersial mulai menggoda sebagian warga desa untuk menjual kayu secara besar-besaran. Bahkan, ada perusahaan yang menawarkan harga tinggi untuk pembukaan lahan sawit, yang tentunya akan merusak hutan. Di sinilah Tembawang diuji.
Peran Pemerintah dan Pihak Eksternal
Melihat kendala yang dihadapi Desa Sepakat, dukungan dari pemerintah dan pihak eksternal menjadi kunci penting dalam menjaga kelestarian Tembawang. Pemerintah daerah bisa berperan dengan membuat kebijakan yang mendukung pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal, seperti memberikan sertifikat hak pengelolaan hutan kepada masyarakat adat. Sertifikasi ini tidak hanya melindungi hutan dari eksploitasi perusahaan besar, tetapi juga memastikan bahwa pengelolaan hutan tetap berada di tangan masyarakat yang telah merawatnya selama berabad-abad.
Selain itu, organisasi non-pemerintah (LSM) yang peduli pada lingkungan dapat menjembatani masyarakat dengan pasar global, menghubungkan produk-produk lokal seperti kayu berkelanjutan, tanaman obat, dan pangan tradisional kepada konsumen yang sadar lingkungan. Salah satu cara inovatif adalah dengan melabeli hasil hutan non-kayu sebagai produk ramah lingkungan, yang meningkatkan nilai jualnya di pasar internasional.
Menghadapi Generasi Muda
Sementara itu, generasi muda perlu diberikan pendidikan dan pemahaman tentang pentingnya menjaga Tembawang. Program-program seperti pendidikan berbasis lingkungan yang melibatkan sekolah-sekolah lokal dapat menjadi cara efektif untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan anak muda. Mereka perlu diajak untuk memahami bahwa hutan bukan hanya tentang kayu, tetapi tentang keberlanjutan hidup, identitas budaya, dan masa depan mereka sendiri.
Dengan memanfaatkan media sosial dan teknologi, generasi muda juga bisa diperkenalkan dengan teknik pengolahan hasil hutan yang lebih modern. Mengajari mereka cara membuat produk-produk bernilai tinggi dari tanaman obat dan bahan pangan lokal bisa menjadi langkah penting untuk mengintegrasikan tradisi dengan inovasi. Platform digital seperti marketplace atau media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk memasarkan produk-produk ini, sehingga memberi mereka akses ke pasar yang lebih luas.
Kendala: Tekanan Ekonomi dan Pemahaman yang Mulai Pudar
Tekanan ekonomi sering kali menjadi musuh utama dalam mempertahankan prinsip Tembawang. Ketika kebutuhan hidup mendesak, menjual kayu dalam jumlah besar dianggap sebagai jalan pintas yang menguntungkan. Di sisi lain, generasi muda yang semakin terpapar kehidupan modern kadang mulai melupakan nilai-nilai adat yang diwariskan nenek moyang mereka. Tembawang menjadi sekadar "hutan" tanpa makna mendalam di mata sebagian dari mereka.
Kurangnya akses pada teknologi dan pasar yang ramah lingkungan juga menjadi kendala besar. Masyarakat lokal tidak selalu memiliki kesempatan untuk menjual hasil hutan selain kayu—seperti tanaman obat atau pangan—ke pasar yang lebih luas dengan harga yang layak.
Memadukan Kearifan Lokal dan Inovasi Modern
Untuk menjaga Tembawang tetap hidup, perlu ada perpaduan antara tradisi dan inovasi. Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah dengan memperkenalkan ekowisata berbasis kearifan lokal. Pengunjung dari kota besar dan luar negeri dapat diajak untuk melihat bagaimana masyarakat Dayak mengelola hutan dengan bijaksana. Hasil hutan non-kayu, seperti tanaman obat dan pangan, bisa dipromosikan dalam program wisata ini.
Selain itu, pemerintah dan LSM perlu berperan aktif dalam memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang cara mengolah hasil hutan secara lebih modern dan berkelanjutan, misalnya membuat produk herbal atau pangan olahan yang bernilai jual tinggi. Pasar online juga bisa dimanfaatkan sebagai jembatan untuk memperluas jangkauan produk-produk lokal ini.
Tembawang bukan sekadar konsep adat, tetapi sebuah cara hidup yang berkelanjutan. Jika kita, baik dari masyarakat lokal maupun luar, tidak bergerak untuk menjaga dan mendukung kearifan lokal ini, Tembawang bisa lenyap di tengah gempuran industri modern.
Kini saatnya kita bertindak. Mari dukung masyarakat Dayak dalam menjaga hutan mereka, baik dengan mengunjungi desa-desa yang menerapkan Tembawang, membeli produk-produk hasil hutan non-kayu, atau menyebarkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan hutan yang bijak dan berkelanjutan. Hutan Kalimantan adalah paru-paru dunia yang harus kita jaga bersama.
0 Comments
Posting Komentar