Di era modern ini, keberlanjutan sumber daya alam semakin menjadi sorotan. Namun, di berbagai pelosok Nusantara, hukum adat telah lama menjadi fondasi kuat dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Salah satu contoh yang mencolok adalah Suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara, yang memiliki kearifan lokal dalam mengelola dan melindungi sumber daya alam melalui aturan adat yang mengikat.
Dheleng: Hutan Sebagai Kekayaan Bersama
Bagi masyarakat Suku Alas, hutan (dheleng) tidak hanya dipandang sebagai sekumpulan pohon atau lahan kosong yang dapat dieksploitasi. Dheleng merupakan kekayaan imum atau kepala mukim bersama rakyatnya. Dengan luasan yang mencakup wilayah desa, hutan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Wilayah hutan adat ini tidak diukur dengan teknologi modern, tetapi dengan cara tradisional: setengah hari perjalanan kaki atau hingga batas mesosen. Fungsinya sangat vital, yakni menjaga keseimbangan air sungai atau pakhik jume yang mengalir ke sawah-sawah dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat. Pemanfaatan sumber daya hutan diarahkan untuk menjaga kualitas lingkungan agar tetap mendukung pertanian dan kehidupan masyarakat.
Sanksi Adat: Menjaga Alam dengan Tegas
Dalam aturan adat yang dijaga ketat oleh MAA (Majelis Adat Aceh) dan imum, siapapun yang melanggar aturan adat akan dikenakan sanksi berat. Sebagai contoh, jika seseorang mencuri hasil hutan atau melakukan perusakan seperti menebang pohon atau mengambil rotan tanpa izin, maka mereka harus menyerahkan seluruh hasil curiannya dan dikenakan denda antara Rp320.000 hingga Rp3.200.000.
Sanksi serupa juga diberlakukan bagi pelaku penangkapan ikan ilegal menggunakan cara-cara destruktif seperti pengeboman, peracunan, atau penyetruman. Sungai Lawe Alas, saluran-saluran irigasi, hingga lubuk larangan yang dikelola secara adat menjadi wilayah-wilayah yang harus dijaga. Jika seseorang melakukan pelanggaran, ikan hasil tangkapannya harus dikembalikan dan denda diberlakukan sesuai tingkat kesalahan.
Tak berhenti di situ, aturan adat juga melarang keras perburuan satwa liar tanpa izin. Satwa yang diburu secara ilegal, jika masih hidup, harus dikembalikan ke habitatnya. Jika mati, maka harus diserahkan kepada MAA untuk diproses lebih lanjut. Seperti pelanggaran lainnya, denda adat diberlakukan untuk setiap pelanggar.
Kearifan Lokal dalam Perspektif Modern
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Suku Alas ini mencerminkan kearifan lokal yang patut dicontoh di era sekarang. Hukum adat mereka, meskipun tidak tertulis dalam konstitusi negara, memiliki kekuatan yang sangat besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Ini menunjukkan bahwa hukum adat memiliki peran penting dalam mendukung upaya konservasi yang berbasis pada masyarakat.
Di banyak daerah, konsep community-based conservation atau konservasi berbasis masyarakat mulai diakui sebagai salah satu pendekatan paling efektif dalam menjaga sumber daya alam. Hal ini bukan tanpa alasan. Masyarakat lokal seringkali memiliki pengetahuan mendalam mengenai lingkungannya, dan mereka lebih peka terhadap tanda-tanda kerusakan ekosistem.
Dalam konteks global, aturan adat seperti yang diterapkan oleh Suku Alas sangat relevan dengan upaya dunia dalam mengatasi perubahan iklim dan krisis lingkungan. Pelestarian hutan, sungai, dan satwa liar bukan hanya soal menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga tentang melindungi sumber daya penting yang menopang kehidupan manusia.
Pentingnya Memperkuat Hukum Adat
Seiring dengan perkembangan zaman, tak bisa dipungkiri bahwa banyak hukum adat mulai tergerus oleh modernitas. Masyarakat adat seringkali berada di persimpangan antara menjaga tradisi mereka atau mengikuti arus perubahan yang cepat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memperkuat dan mengakui peran hukum adat dalam sistem hukum nasional.
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya dan ekosistem, seharusnya melihat hukum adat sebagai aset. Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat adat untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung pelestarian lingkungan berbasis adat, sehingga hukum adat bisa tetap relevan dan berdaya guna di era modern.
Aturan adat yang dimiliki oleh Suku Alas di Aceh Tenggara adalah contoh nyata bagaimana masyarakat lokal bisa menjaga sumber daya alam dengan kearifan yang telah diwariskan turun-temurun. Hutan, sungai, dan satwa liar bukan hanya bagian dari ekosistem, tetapi juga bagian dari identitas dan kehidupan masyarakat.
Hukum adat yang berlaku di Tanah Alas bukan hanya soal sanksi, tetapi juga cara untuk memastikan bahwa hubungan harmonis antara manusia dan alam tetap terjaga. Ini adalah pelajaran penting yang bisa diambil oleh masyarakat modern dalam upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan yang semakin parah. Pelestarian lingkungan melalui pendekatan berbasis adat adalah langkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, di mana alam dan manusia dapat hidup berdampingan dalam harmoni.
Source: https://budaya-indonesia.org/
0 Comments
Posting Komentar